jump to navigation

Relativisme Nilai-Nilai di Zaman Post Modernis 20 Maret 2009

Posted by withpras in Smart Muslim.
trackback

time-machine4web
Sejak Einstein menelurkan konsep relativisme di bidang fisika dengan mengatakan bahwa persepsi manusia tentang waktu tergantung pada siapa yang mengalaminya, maka semenjak itu pula ‘ketelanjangan’ pemikiran Einstein menjadi buah bibir dan menjadi panutan untuk merelatifkan nilai-nilai yang seharusnya absolute benarnya.

Apakah kita berani mengatakan bahwa Islam yang kita anut sekarang adalah salah bagi orang non Islam? Jika jawaban anda ya, berarti anda terjebak oleh relativisme. Demikianlah pandangan relativisme itu bekerja dan masuk dalam alam bawah sadar masyarakat kita sekarang.
Muhammad Arkoun, seorang liberalis asal Prancis yang terjebak oleh pemikiran relativisme ini lebih lanjut mengatakan “Seorang muslim yang baik tak boleh memutlakkan ajarannya menjadi benar sendiri (truth claim), dan tak boleh mengaku hanya Islam yang meletakkan pondasi keselamatan di atas agama-agama lain (truth salvation), sebab dari situlah pangkal peperangan dan konflik berkepanjangan atas nama agama.”
Demikian pandangan seseorang yang terjebak oleh relativisme itu melempar pandangannya dengan dasar ragu-ragu atas keyakinannya, kemudian harus memikirkan toleransi dengan agama lain. Sebab di dalam pandangan relativisme ini jika posisi kita berada di pihak nasrani misalnya, tentu kita akan menjelek-jelekkan Islam juga agama lain, sehingga dalam hal ini tidak ada agama yang mutlak benarnya, semua tergantung dari worldview masing-masing dan dari mana posisi kita menempatkan diri.
Bukan hanya itu relativisme kemudian menjadi sebuah kerangka berfikir. “Berfikirlah yang benar, tapi jangan merasa benar”, sebab kebenaran itu relatif. “Jangan terlalu lantang bicara tentang kebenaran, dan jangan menegur kesalahan”, karena kebenaran itu relatif. “Benar bagi anda belum tentu benar bagi kami” semua adalah relatif. Kalau anda mengimani sesuatu jangan terlalu yakin keimanan anda benar, iman orang lain mungkin juga benar. Intinya semua diarahkan agar tidak merasa pasti tentang kebenaran. Kata bijak Abraham Lincoln, “No one has the right to choose to do what is wrong”
Implikasi dari pemikiran ini Para cendekiawan Muslim pun punya profesi baru, yaitu membuka pintu surga Tuhan untuk pemeluk semua agama. “Surga Tuhan terlalu sempit kalau hanya untuk ummat Islam”, kata mereka. Seakan sudah mengukur diameter surga Allah dan malah mendahului iradat Allah. Mereka bicara atas nama Allah. Lazim kita dengar cendekiawan itu kemudian berkata “Tak peduli orang itu Yahudi, Kristen atau Konghucu, kalau mereka berbuat baik akan mendapatkan surga” (lihat surat Al Baqarah 62)
Jika kita dilarang untuk beriman dengan agama kita sendiri, bagaimana dengan ayat-ayat yang dianggap militan bagi keyakinan agama lain ini? Tidak ada agama yang diridloi di sisi Allah selain islam (Ali Imran 19) Barangsiapa yang mencari kebenaran selain islam berarti tertolak dan diakhirat termasuk orang-orang yang merugi (Ali Imran 85) Apakah kita ragu-ragu dengan Al Qur’an ini padahal sudah banyak fakta yang membuktikan entah itu berupa ramalan atau isyarat pengetahuan yang teruji di masa sekarang, bahwa Al Qur’an memang sesuai dengan segala zaman, artinya memang Al Qur’an sengaja didesain untuk manusia hingga hari kiamat. Bahkan dalam pernyataannya sendiri, Allah berfirman al-haqq min rabbika (dari Tuhanmu) bukan ‘inda rabbika (pada Tuhanmu). ‘Dari Tuhanmu’ berarti berasal dari sana dan sudah berada disini di masa kini dalam ruang dan waktu kehidupan manusia. Itu artinya yang manusiawi dan menyejarah sebenarnya bisa mutlak.

Komentar»

No comments yet — be the first.

Tinggalkan komentar